Lembaga Kajian, Penelitian dan Pengembangan Mahasiswa (LKP2M) berada di dalam naungan UIN Maliki Malang. Lembaga ini memiliki sekretariat di Kedai Sinau Gedung SC Lt.1 UIN Maliki Malang Jalan Gajayana 50 Malang, contact: lkp2m_uinmlg@yahoo.com. Untuk berpartisipasi dalam mengisi website LKP2M, Anda bisa mengirimkan artikel anda ke: lkp2muinmaliki@gmail.com

Senin, 23 Agustus 2010

Ramadhan vs Kambing Hitam

Ramadhan vs Kambing Hitam

oleh Pembantu Umum LKP2M (aba_tara@yahoo.com)


“Barang siapa yang bahagia dengan kedatangan bulan ramadhan, maka Allah mengharamkan jasadnya dari api neraka”

Ramadhan memformulasi orang Islam bahwa ramadhan sebagai pionir dari bulan-bulan selama setahun. Paradigma bulan Ramadhan memiliki substansi bulan ‘kamil’ di antara bulan-bulan lainnya. Selain itu, desain paradok yang menyatakan bahwa setiap gerak-gerik manusia dilipat gandakan menjadi seribu kali gerak baik maupun buruk untuk nilai spiritualias. Pantas jika kedatangan ramadhan disambut sakral untuk dirayakan dengan istilah jawa ‘megengan’ atau ‘syukuran’. Indonesia mayoritas beragama Islam, mesti tidak tersentak ketika memapas seluruh sudut wilayah bergoyang menyambut kedatangan bulan Ramadhan. Walaupun, menyesalkan ketika penyambutannya tidak pula dibarengi dengan pengenjotan aspek spiritualitas dari efek ‘megengan’ yang bernampak ‘orak-orakan’.

Miniatur semarak gelegar ramadhan yang dirayakan meriah, tidak satu pun baik individu maupun golongan yang memiliki aliran darah dan utamanya yang mengamalkan syariat Islam bisa dipastikan berbahagia dengan kedatangan ramadhan. Realita masyarakat Islam telah berbondong-bondong merayakan kebahagiaan datangnya ramadhan, mulai dari aspek rohani maupun aspek jasmani diset-up nuansa Islami. Untuk itu, pantas bila Indonesia lebih ramai pada bulan-bulan Ramadhan ketimbang hari kemerdekaan Indonesia dan bahkan kemeriaan ramadhan mengalahkan perayaan hari kemerdekaan Indonesia. Nuansa-nuansa ramadhan lebih mengudara pada pribadi muslim.

Kenampakkan peristiwa yang terjadi dalam menyambut ramadhan, akhir-akhir ini banyak yang mengatasnamakan ramadhan. Peristiwa penertiban PKL oleh Satpol PP Surabaya di tiga kecamatan, yaitu Tegalsari, Wonokromo, dan Sawahan yang diamati oleh pengamat sosial dari Universitas Airlangga dan berpendapat bahwa niat pembersihan PKL oleh Pemerintahan Kota Surabaya tidak konsisten sebab pengususran PKL tidak disertai dengan relokasi penataan ruang kembali untuk PKL. Bukan hanya tahun-tahun ini, namuan hamper setiap tahuan menjelang ramadhan itu yang terjadi.

Hal lain yang sepadan dan sudah mentradisi yakni setiap menjelang bulan Ramadhan maupun menjelang berakhirnya bulan Ramadhan. Kaum menengah ke bawah ataupun kaum lain yang selalu disulitkan dengan melejitnya harga barang sadang, pangan, dan papan. Alasannya juga sama, bahwa mumpung ramadhan tiba maka perlu dikeruk kesempatan emasnya. Memang sangat koheren, ketika mendekati berakhirnya ramadhan yakni para masyarakat berduyun-duyun untuk berbelanja banyak guna mempersiapkan hari raya idul fitri.


Kambing Hitam

Sangat jelas, sebuah realita kebanyakan mengatasnamakan karena ramadhan. Baik yang bersifat menguntungkan maupun merugikan pihak-pihak yang terkait. Sangatlah janggal, ketika ramadhan menjadi kambing hitamnya. Sebab wujud ramadhan bukan menjadi bulan tameng dari perilaku manusia terhadap manusia tapi menjadi ril menuju rahmat Tuhan.
Ini wajar, kita tengok sebuah perkataan Ustman al-Khuwawi dalam kitab durotun nashihin bahwa derajat orang berpuasa memiliki tiga derajat. Pertama, puasanya orang awwam dan ketika mereka berpuasa hanyalah paham berpuasa sebagaimana nampakannya tidak secara perinci paham bagaimana puasa yang baik. Akhirnya, mereka dalam berpuasa hanya menjaga makan dan minum saja dari terbit fajar hingga terbenam matahari.

Kedua, puasanya orang shaleh. Orang shaleh dalam menjalankan ibadah puasa sangat berbeda jauh dengan golongan pertama. Orang shaleh berpuasa bukan hanya menjaga dari makan dan minum secara jasmani, tetapi juga menjaga rohani yang terkover dalam sikap jiwa atau hati. Artinya, sang shaleh tetap menjaga jasmani maupun rohani. Karena pada dasarnya berpuasa bertujuan untuk memerdekakan hati dari sikap chaos.

Ketiga, orang yang berpuasa dan hatinya hanya ingat kepada Tuhan. Sehingga urusan yang dilakukan oleh mereka ini hanya bertujuan untuk Tuhan. Bahkan urusan yang lain dapat tergantikan dengan urusan mengingat Tuhan. Katakan saja, orang yang seperti ini adalah orang yang pasrah kepada-Nya. Sikap totalitas begitu melekat, sehingga orang yang dekat bisa merasa heran dengan tingkah tidak wajar yang dilakukan mereka karena kedekatan alam disekelilingnya belum memahami keberadaan orang seperti ini.


Beralas-alasan

Paparan dari ketiga derajat orang berpuasa, dan yang paling sering nampak pada manusia adalah bagian pertama. Banyak orang yang menyuarakan shaleh tapi sikapnya seperti orang awwam –tidak shaleh. Banyak orang yang bisa bertutur tapi tuturan hanya tetap sebagai tuturan tidak menaklikkan perubuatan. Untuk itulah, pantas jika di bulan Ramadhan orang yang melisankan diri sebagai yang terbaik masih saja tidak setara dengan penyuaraannya. Aktivitas puasa yang dilakukan selalu saja hanya pada aspek jasmani menahan lapar dan dahaga. Dari aspek rohani hampir terlupakan untuk berpuasa pula. Sikap yang saling mencela masih ada, sikap yang saling iri masih ada, sikap beralas-alasan juga masih ada, dan sikap menyalahkan juga masih ada.

Mungkin, hanya jawaban warna-warni manusialah yang memberikan jawaban benar jika ramadhan selamanya akan menjadi kambing hitam dalam beralasan. Sedikit-sedikit karena ramadhan. Tidak ada agenda apa-apa jika tidak pada bulan ramadhan. Tidak ada aktivitas rutin membaca al-qur’an atau ‘tadarusan’ jika tidak ramadhan. Tidak rutin bershodaqoh –pamrih untuk dikenal dan dikenang– jika tidak ramadhan. Sikap demikian yang perlu kita pangkas. Semula sikap berpikir yang tidak percaya pada badan amil zakat membuat para dermawan gemar mengecer harta dengan kepanitiaan sendiri. Maka tidak ada yang dipersalahkan jika kecelakaan yang diakibatkan sikap egois memimpin demi merebut panggilan ‘dermawan’.

Seyogyanya, ramadhan datang memberikan pancingan awal untuk berkiprah yang lebih baik, bukan setelah ramadhan aktivitas baik menjadi stagnan (kemandekan) dan menunggu berputarnya waktu ramadhan tahun depan. Semoga kelancaran usaha dan doa menghantarkan kita pada cita-cita secara simultan ke depan.

Melanjutkan...

Minggu, 22 Agustus 2010

MYR 2010

Marhaban Ya.. Ramadhan

Alhamdulillah, LKP2M di bulan yang penuh rahmat ini, masih bisa eksis dalam melakukan aktivias, yakni berkarya.

Meskipun pada saat ini masih dalam bentuk sebuah iven kegiatan. Oleh karenanya, kami mengajak Gus/Ning LP2M atau temen-teman yang ingin bergabung dengan kami dalam kajian, bedah buku, pengajian, dll. Ikuti pembukaannya pada tanggal 23 Agustus 2010, di hall parkiran gedung B UIN Maliki Malang

Info selengkapnya hubungi Gus Dedi



Melanjutkan...

Sabtu, 21 Agustus 2010

PKM Dikti 2010 didanai 2011

Gus dan Ning semua, ada PKM yang diadakan DP2M DIKTI, barang kali berminat silakang saja berkunjung di http://dp2m.dikti.go.id/, meskipun seluruh proposal PKM 2009 kemarin yang dikirim tidak ada satupun dari mahasiswa UIN Maliki Malang yang tidak diterima, jangan patah semangat... segera persiapkan proposal Anda...

Melanjutkan...

Rabu, 28 Juli 2010

Bali Jilid 2 LKP2M (hari pertama)




Satu sebelum tanggal 4 Juli 2010, Gus dan Ning LKP2M yang masih ada di Malang dan belum pulang kampus punya jadwal acara Touring. Kebetulan rencana awalnya adalah touring ke Tuban dengan rute pertama ke Malang-Pasuruan-Mojokerto-Lamongan-Tuban-Bojonegoro-Jombang-Malang. Tujuan dari acara touring hanya silaturahim ke temen-temen yang punya tempat wisata khususnya.

Tepat pada tanggal 1 Juli, ultah LKP2M ke-11. Temen-temen yang berencana berangkat banyak yang tidur di rumah mas Makki, sebab di rumahnya lagi mudik juga. SO, tidak kenapa ada yang usung rute dig anti ke Bali, dengan tujuan ke rumah Neng Fika Dempasar. Hingga konsep matang, bersiap-siaplah malam Minggu tanggal 4 Juli.

Tet, keberangkatan direncanakan pada jam 9 pagi. Pukul 9 sudah hamper dekat tetapi temen-temen masih belum pada kumpul, neng Nurul masih di Polsek buat surat kehilangan KTP, gus Bayu lagi nyari KTP hingga pukul 10 pagi, kami baru bias berkumpul 8 orang, yakni gus Bayu, gus Kaka, gus Dedi, gus Zahid, gus Gencar, neng Nurul, neng Adzo’, neng Gian.

Kami pun siap berangkat hingga tak sadar kalau helm kurang 2. AKhirnya kami pun mencari pinjeman hingga sampai ke took helm. Tepat jam 11.45 kita sudah sampai di Arjosari perjalalan pun berlanjut hingga neng Nurul mampir di perbatasan Pasuruan masuk Probolinggo untuk beli permen sebab kita banyak yang ngantuk di jalan khususnya gus Kaka “raja ngantuk”, hehehehehe.

Perjalanan pun berlanjut hingga kita istirahat sholat dhuhur plus jamak khosor di pantai Bentar, pukul 14.30 hingga melanjutkan perjalanan dan mampir ke Pom Bensin, tidak tau kenapa akhirnya neng Nurul baru inget kalau dompet dan kartu-kartu ATM hilang tidak tahu dimana. Karena merasa tertinggal di pasuruan, akhirnya neng Nurul sama gus Bayu balik ke Pasuruan dengan berkendaraan kayak orang dikejar polisi, 110km/jam kecepatan motornya Supra 125.

Ya… terpaksa karena dompet tidak ketemu, padahal sebelum berangkat sudah ngurus surat kehilangan malang kehilangan lagi, Nasib ya. Perjalanan berlanjut hingga kita berada di kegelapan hutan banyuwangi. Hanya 4 motor yang lewat dijalan itu pada jam 9 malam, sehingga kita perlu untuk cari tempat istirahat ke rumah Febri di Banyuwangi. Eh ternyata, rumah Febri ada di bagian selatan, dan kita di bagian utara.

Pukul 12.30 dini hari, kita masih kebingunggan mencari alamat Febri, kita hampir putus asa. Jam 1 malam (dini hari) kita beristirahat di POM BENSIN, untungnya neng Febri baik hati, dia menjemput kami di POM BENSIN, dan jarak tempuh dari rumahnya ke POM BENSIN kurang lebih setengah jam.

Inilah kisa hari pertama perjalanan ke BALI, seru ya…. Besuk dilanjut lagi ceritanya….

Melanjutkan...

Senin, 19 Juli 2010

Jurnal Lorong Volume 1 No. 2 2006


Jurnal Lorong
Journal of Social Cultural Studies

Volume 1 No.2, April-September 2006
ISSN: 1829-2945


Kembali ke Fitrah, Menembus Batas Kesadaran Sosial
(Otoritas Budaya dalam Diagnosa Kegialaan Sosial)

Pluralitas gagasan mengenai cara pandang dan cara memahami realitas merupakan sesuatu yang niscaya. Dan Tuhan menciptakan pluralitas pasti bukanlah untuk kesia-siaan belaka. Ada suatu makna suci yang terkandung di dalamnya, ia berasal dari Yang Maha Suci. Namun sayangnya, manusia seringkali tak sanggup untuk hidup nyaman di bawah pluralitas. Entah mengapa manusia seringkali lebih merasa aman dan nyaman di bawah situasi keseragaman disbanding di bawah situasi plutalitas.

Melanjutkan...

Jurnal Lorong Volume 1 No. 1 2004


Jurnal Lorong
Journal of Social Cultural Studies

Volume 1 No.1, June-December 2004
ISSN: 1829-2945


Relasi AGAMA BUDAYA

Hasrat memurnikan Islam acapkali menggiring pada ketidakmampuan untuk melihat kearifan yang terkandung dalam tradisi lokal. Ini disebabkan pada satu pandangan bahwa kebenaran Islam adalah satu-satunya dan di luar itu tidak ada. Pandangan ini memaknai kebenaran Islam sebagai sebuah entitas yang mutlak terbedakan dengan yang lain. Tidak ada Islam lokal, yang ada adalah Islam universal dalam pengertian Islam-Arab. Tak ayal, pandangan ini lantas membawa kepada ketidakmungkinan Islam untuk diartikulasikan dengan simbol lain selain budaya Arab. Islam lokal adalah sinkretisme yang lebih berbau bid’ah, sesat dan neraka. Agaknya perlu menimbang kembali perseteruan tentang usha mengkaitkan hubungan dan atau batasan-batasan apa yang memisahkan antara keduanya, agama dan kebudayaan. Jikalau memang perdebatan seputar agama/budaya itu hanya perdebatan di atas kertas, tanpa menyentuh persoalan di ranah esensi —dan itu bukan tujuan LoroNG, maka tidak ada perlunya memperpanjang lagi; agama itu kebudayaan, kebudayaan ya agama! Akan tetapi di sini, bagaimana keduanya dikonstruksi dan bagaimana pula keduanya dirawat oleh penganutnya? Nah…[LoroNG].

Melanjutkan...

Buku Metodologi Penelitian


Judul Buku : Metodologi Penelitian
Penyusun : Tim Penerbitan LKP2M
Penerbit : Biro Penerbitan LKP2M
Cetakan : I, 2008
Tebal : ii + 232 Halaman

Sebuah penelitian yang umum kita kenal sebagai aktivitas yang membuat kening berkerut. Ragam varian yang dikaji dalam penelitian membuat binggung para peneliti pemula dalam menentukan seperti apa yang dapat diteliti?
Cukup dengan jawaban, mulailah Anda membaca dan memulai meneliti semua yang Anda anggap masalah yang patut diketahui dan dicari penyelesaiannya. Buku metodologi penelitian ini hadir di hadapan pembaca sebagai buku pedoman akrab yang membantu menyelesaikan kesulitan untuk memulai meneliti dan juga dilengkapi proses analisis data kuantitatif dan kualitatif.
Kiranya kehadiran buku metodologi penelitian ini membawa menfaat bagi pembaca. Mulai dari penelitian dalam menyelesaikan tugas kahir sebagai mahasiswa atau penelitian dalam han uji teori-teori pemahaman dari berbagai disiplin ilmu pengetetahuan.

Melanjutkan...

Jumat, 02 Juli 2010

Sudahkah?

Oleh : Liza Wahyuninto


Sayang,

Sudahkah kau menyiapkan kue dengan lilin jumlah tahunku di atasnya?

Sudahkah kau menyiapkan kado yang bakal membuat mulutku menganga sebagaimana tahun-tahun sebelumnya?

Sudahkah kau memilih pakaian teranggun malam ini agar semua iri kepadaku memiliki dirimu?

Sudahkah…


Sayang,

Sudahkah kau menulis puisi terpanjang tahun ini dank au bacakan tepat di malam pergantian usiaku?

Sudahkah kau menulis satu per satu doa yang akan kau bacakan ketika hendak mencium kening dan kedua belah pipiku?

Sudahkah kau siapkan kertas kosong lalu memintaku untuk menandai hari ini dengan satu kalimat dan nanti akan kau simpan dalam laci dan hanya kau yang tahu tempatnya?

Sudahkah,


Sayang,

Sudahkah kau bangunkan aku dari mimpiku dan kau akan berucap “hanya mimpi buruk mas!”


Indonesia, 12 Juni 2010


(Dibacakan pada acara sarasehan HUT XI LKP2M di Gd B UIN Maliki Malang)

Melanjutkan...

Minggu, 13 Juni 2010

KKI di Coban Rais

Kemah Kader Ilmiah (KKI) angkatan PRA XI pada tanggal 8-9 Mei 2010, di Coban Rais yang diikuti oleh 34 peserta, untuk peserta putra 6 orang sisannya cewek dan ditambah panitia serat pengurus.
Pada KKI kali ini mengusung tema "Play to Think", santaikan judulnya. Tetapi bukan artinya kegiatan KKI hanya bermain-main terus untuk berpikir saja. Namun, dengan permainan-permainan kecil dan asyik akan membuat peserta tidak jenuh, yang berujung berpikirnya akan lebih enjoy.
Ada cerita serus dalam KKI kemarin pada rangkaian ancaranya, yakni pada waktu acara pembaiatan peserta KKI untuk menjadi anggota LKP2M. Para pengurus dan panitia, membuat suasa konflik sebelum pembaiatan, agar para peserta lebih serius. Lucunya, ada pengurus terbawa arus, sampai akhirnya pinsan di samping tenda. Hingga, berakhirnya acaranya pun belum usai pingsan, akhirnya kami angkat bersepuluh untuk turun ke tempat yang aman. Lebih lanjut ceritanya, tanyakan ja ke panitia...he...he...

Melanjutkan...

Sabtu, 22 Mei 2010

Sejarah

Merdeka bagi Gus dan Ning !!!
“Di sela-sela waktu kuliahnya, sekelompok anak muda dari berbagai macam unsur SARA, ekstra kampus, serta aktivis jalanan kumpul di warung, pojok perpustakaan, lesehan dan trotoar membincang ihwal wacana tertentu dalam diskusi-diskusi kecil, kreatif dan dinamis. Mereka berasumsi bahwa belajar tidak hanya dalam ruangan nyaman ber-AC atau keramik Tulungagung, tetapi belajar bisa di mana saja, warung kopi, trotoar jalanan maupun di bawah pohon kelengkeng (sebelum UIN direnovasi, ada sebuah pohon kelengkeng di depan rektorat yang kerap menjadi ajang diskusi, bahkan pacaran, bagi mahasiswa). Demokrasi wacana adalah arah landasan perjuangan kami, tirani kebodohan merupakan musuh kami semua dan kebebasan berpikir tidak lain merupakan tujuan kami."

Sembilan Pahlawan
Mahasiswa bukanya manusia rapat umum (man of public meeting) bukanya manusia yang hanya butuh ijasah tetapi harus punya gagasan dalam bentuk pemikiran yang teratur. Sehingga mahasiswa sebagai manusia dari berbagai kumpulan manusia harus mempunyai kekuatan penalaran, penalaran tersebut merupakan landasan dalam berbudi luhur (Jalaludin rahmat, 1998: 30).
Muncul di benak kami! Wujudkan dalam sebuah wadah, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Kenapa Tidak?! Maka munculah sosok baru, UKM, yang kelahirannya ditandai dengan pemotongan tumpeng yang dihadiri oleh (Kacung Maridjan, M.A seorang pengamat politik dari UNAIR) ini dilakukan pada bulan oktober 1999. Sedangkan LKP2M sendiri berdiri pada 1 juli 1999 yang disetujui oleh ketua Presiden Mahasiswa (Presma) Sdr. Abdul Mujib dan dapat dukungan dari pihak Rektorat kampus, mereka inilah yang pertama dalam kepengurusan dan awal pendirian LKP2M (Isa, Edi, Athok, Zainul, Faiz, Umi, Aziz, Rofik, dan Zainal).
Berdasakan SK/No :15/SK/PM/STAIN/VII/1999
Pelindung : Ketua STAIN Malang
Penasihat : Pembantu Ketua III STAIN Malang
Drs. Muhaimin, M.A
Drs. Mudjia Rahardjo, M.Si
Drs. Isti'adah, M.A
Drs. H. Djunaidi Ghoni

Nama awal lembaga ini adalah LP3M (Lembaga Pengkajian, Penelitian, Pengembangan Mahasiswa), setelah melalui diskusi kecil di warung kopi Mak Jah maka muncul nama LKP2M (Lembaga Kajian, Penelitian dan Pengembangan Mahasiswa).
What is the LKP2M? Timbul suatu pertanyaan bagi teman-teman semua dan mahasiswa yang ingin tahu.
LKP2M, suatu lembaga yang dibangun dengan perjuangan yang keras, bukan pergantian nama dari UKM lain (Lihat ada yang mengaku perubahan dari BKPP (Biro Konsultasi dan Penelitian Pendidikan) Pada zaman IAIN SA, Malah tulisannya ada yang mengaku karena etos kerja dosen Fak Tarbiyah SA dirubah jadi LKP2M ada juga yng memunculkan nama M. Fauzan Zenrif jadi ketua (Lihat Buku Pedoman Pembinaan Mahasiswa & Panduan OPKAL STAIN Malang 2001-2002 : 50), itu semua salah dan terlalu mengada-ada serta lucu bagi kami yang bekecimpung langsung dalam UKM LKP2M, mengapa?
LKP2M, adalah Unit Kegiatan Mahasiswa dibawah naungan Presidium Mahasiswa STAIN Malang dan merupakan pusat kajian dan penelitian bagi mahasiswa STAIN Malang. Yang membedakan dengan lembaga lain adalah bidang kajianya, (Politik, Filsafat, Ilmu Pengetahuan, Gender, Masalah Aktual Agama, Pendidikan dan Penelitian. (Ini semua menggunakan silabi/kurikulum sendiri)

Melanjutkan...

Sabtu, 01 Mei 2010

UU Penodaan Agama

Oleh: Babur Rachman

Persoalan relasi keagamaan, dalam arti kebebasan berkeyakinan, telah mengalami sedikit banyak distorsi akhir-akhir ini, hal inilah yang memunculkan niatan beberapa kelompok intelektual untuk melihat kembali tatanan tersebut dalam Undang-undang, yang pada akhirnya memutuskan untuk mengugat Undang-undang tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pada Mahkamah Konstitusi. Setelah melakukan berbagai perdebatan dan segala macam, dan akhirnya MK menolak pencabutan Undang-undang tersebut. Untuk lebih jelasnya marilah kita ikuti wawancara bersama Maria Farida Indrati, salah satu Hakim Konstitusi....

Sesat Bukan Ranah Agama
Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pencabutan Undang-Undang tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap Undang-Undang Dasar 1945, Senin pekan lalu. Dan Maria Farida Indrati satu-satunya di antara sembilan hakim konstitusi yang memberikan dissenting opinion.

"Saya terbiasa sendiri," ujarnya. Ia berpendapat Mahkamah seharusnya mencabut undang-undang produk 1965 itu karena negara tak boleh mencampuri tafsir sebuah ajaran.

Hakim perempuan pertama di Mahkamah Konstitusi ini juga menyampaikan pendapat berbeda ketika dilakukan uji materi Undang-Undang Pornografi, Maret lalu. Ada yang menyebutkan Maria berbeda pendapat mungkin karena lebih paham kondisi sebagai perempuan yang banyak dibahas dalam undang-undang tersebut. "Mungkin saja," katanya sambil tersenyum.

Rabu pekan lalu, Maria menerima Nugroho Dewanto, Yandi M. Rofiyandi, Sutarto, dan fotografer Suryo Wibowo dari Tempo di kantornya, Mahkamah Konstitusi. Di samping tempat duduknya terdapat kursi roda yang membawanya ke mana-mana. Cedera akibat terjatuh menjelang Paskah awal April lalu membuatnya belum bisa menjejakkan kaki.

Apa yang membuat Anda memberikan pendapat berbeda dalam sidang uji materi Undang-Undang Penodaan Agama?
Undang-Undang tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama itu sudah terlalu lama, produk masa lampau di era demokrasi terpimpin. Undang-undang itu merupakan terobosan atau peraturan yang dibuat di luar konstitusi, melalui penetapan presiden. Pada 1963-1969, terdapat 169 penetapan presiden yang berlaku, termasuk soal penodaan agama.

Bagaimana bisa menjadi undang-undang?
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menyatakan banyak hal yang tak tepat sehingga harus ada peninjauan kembali terhadap penetapan presiden. Lalu keluar Ketetapan MPRS Nomor 19 Tahun 1966. Rupanya, ketetapan itu tak berjalan baik. Kemudian, pada 1968, keluar Ketetapan MPR Nomor 39 yang menyatakan pelaksanaan ketetapan nomor 19. Jadi dua ketetapan itu menyatakan perlu peninjauan kembali terhadap penetapan presiden.

Jadi penetapan presiden tetap berlaku?
Setelah ketetapan MPR, keluar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yang menyatakan beberapa penetapan presiden dan peraturan presiden menjadi undang-undang. Dalam undang-undang itu terdapat lampiran 2A dan 2B tentang penodaan agama yang dinyatakan berlaku sebagai undang-undang. Syaratnya harus diperbaiki, disempurnakan, dan menjadi bahan pembentukan undang-undang berikutnya.

Mengapa sejak 1969 sampai sekarang tak ada perbaikan?
Memang tak pernah ada perbaikan dan penyempurnaan. Padahal penetapan presiden yang berakibat sama telah dihapus, seperti tindak pidana subversif. Undang-undang subversif dicabut pada era reformasi, tapi Undang-Undang Penodaan Agama belum.

Apakah Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah sengaja membiarkan?
Biasanya undang-undang dipakai oleh mereka yang merasa agama ini atau itu tak benar. Saya menganggap, kalau 40 tahun bertahan, itu berarti DPR dan pemerintah tak bijaksana. Banyak permasalahan agama, tapi undang-undang tak melindungi pelaksanaan ibadah agama dan kepercayaan.

Termasuk diskriminasi karena agama?
Iya, seperti kesulitan melakukan perkawinan atau memperoleh kartu tanda penduduk. Setelah meninggal pun masih terjadi diskriminasi. Penganut kepercayaan sulit mendapat surat kematian. Di Surabaya ada yang sampai tiga hari belum dikuburkan karena surat kematiannya tak keluar-keluar.

Undang-undang ini digunakan untuk mendiskriminasi penghayat kepercayaan dan penganut agama minoritas. Seandainya Soekarno masih hidup, bagaimana respons beliau?
Saya kira Bung Karno tak menghendaki itu. Bung Karno tentunya akan membuat peraturan berbeda. Walaupun peraturan itu berhubungan dengan agama, pasti dalam bentuk undang-undang. Penetapan presiden itu sebetulnya materinya undang-undang karena memberikan larangan dan ada sanksi pidana. Padahal sanksi pidana tak boleh dibuat oleh presiden sendiri, harus ada DPR.

DPR kok diam saja?
Secara formal, karena presiden menganggap penetapan itu diperlukan, maka boleh. Tapi secara material tidak boleh. Di mana pun peraturan yang memberikan sanksi dan pembebanan kepada seseorang harus dibicarakan dengan wakil rakyat. Misalnya pajak retribusi, pengurangan hak asasi manusia dan kemerdekaan seseorang, sehingga harus dipidana.
Apa alasan pemerintah ketika itu mengeluarkan penetapan presiden?
Pada waktu itu alasannya Nasakom serta banyak aliran yang berusaha menyatakan diri sebagai aliran keagamaan tapi mengajak orang keluar dari Ketuhanan Yang Maha Esa. Mereka dianggap mencederai dan tak sesuai dengan Pancasila. Ada juga aliran yang menafsirkan sendiri tapi menggunakan kitab salah satu agama, sehingga keluarlah penetapan itu.

Bukankah sekarang masih ada kecenderungan aliran yang menafsirkan sendiri dan menggunakan kitab salah satu agama?
Iya. Di pasal 1 dikatakan, kalau seseorang mengemukakan, menafsirkan sesuatu yang berbeda dengan pokok ajaran agama di muka umum, dia dianggap menodai agama. Kesimpulan menodai agama atau tidak itu adalah tafsir. Dalam setiap agama pasti ada yang mengatakan penafsiran itu. Misalnya Majelis Ulama Indonesia atau Nahdlatul Ulama dalam Islam, Sinode dalam Protestan dan Katolik. Tapi pada akhirnya tak boleh memakai tangan negara.

Jadi negara tak boleh ikut campur menyatakan sesat atau tidaknya suatu ajaran?
Boleh saja ada fatwa tentang ajaran menyimpang, tapi jangan meminta negara ikut campur. Misalnya, setelah vonis ajaran sesat, mereka meminta surat keputusan bersama (SKB) menteri. Sesat atau tidak itu bukan ranah negara, tapi otoritas masing-masing agama. Beberapa ahli, misalnya Frans Magnis-Suseno, bahkan mengatakan fatwa sesat bukan kewenangan manusia. Seolah-olah manusia yang menentukan.

Salah satu dasar pemohon adalah semua warga negara harus diperlakukan sama?
Negara memang harus menjamin kemerdekaan seseorang. Dalam ranah hukum Indonesia, perlindungan terhadap pemeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaan itu sangat kuat. Kalau dulu hanya pasal 29, sekarang ada 28e dan 28i. Hak seseorang dalam tiga pasal itu menjadi kewajiban konstitusional negara. Jadi, orang melaksanakan ibadah, memanifestasikan, mengkomunikasikan harus dilindungi negara.

Kenyataannya?
Kadang-kadang kita tak melihat itu. Misalnya, tahu-tahu ada gereja atau masjid dibakar. Kewajiban negara melindungi warganya beribadah dan melaksanakan keyakinan tak dilaksanakan dengan baik.

Undang-Undang Penodaan Agama hanya mengakui enam agama. Bagaimana dengan orang-orang yang berada di luar itu?
Sebetulnya undang-undang tak menyebutkan diakui atau tidak. Hanya mengatakan melanggar pokok ajaran agama. Nah, waktu itu agama mayoritas hanya enam. Dalam penjelasan undang-undang disebutkan enam agama yang ada di Indonesia. Di luar itu memang diberi kebebasan, tapi tak diberi perlakuan sama. Saya menganggap negara tak melindungi yang lain itu.

Dengan tetap berlakunya undang-undang itu, apakah mungkin akan ada pembakaran masjid atau gereja lagi dengan alasan menyimpang?
Tergantung sosialisasi pemerintah dan bagaimana kita memaknai undang-undang. Sosialisasi pemerintah harus jelas, mana yang boleh dan mana yang tidak. Sekarang, kalau kita melihat di siaran televisi, aparat diam saja, bahkan takut.

Apakah ada intimidasi oleh kelompok yang mendukung bertahannya undang-undang ini?
Memang kelompok yang tak setuju perubahan ini kita lihat sangat fanatik. Padahal sebenarnya lebih banyak yang tak fanatik. Mereka vokal dan berani bertindak. Saya banyak berhubungan dengan teman-teman muslim, tapi enak saja. Kita bisa berbeda pendapat dan pikiran.
Dalam sidang kemarin, ada yang ribut, berteriak....
Sebetulnya ditegur oleh ketua. Bahkan, ketika ada yang ribut memaksa masuk, ketua menghentikan sidang. Beliau meminta semua mengikuti peraturan. Ketua dan hakim sering terenyak dengan pemaparan dari saksi.

Apakah banyaknya pendukung yang ingin undang-undang bertahan ikut mempengaruhi hasil putusan?
Saya rasa tidak. Perdebatan pleno hakim sangat ramai. Misalnya soal SKB. SKB itu produk hukum seperti perundang-undangan. Surat keputusan tentang Ahmadiyah bentuknya keputusan bersama. Di dalamnya ternyata bukan hanya larangan, tapi mengatur juga. Ini menimbulkan masalah.
Sebelum 1965, banyak penganut kepercayaan menjadi pegawai negeri, polisi, dan militer dan tak bermasalah. Dalam upacara mereka tidak bersumpah, tapi cukup berjanji....
Kita memiliki landasan kuat terhadap perlindungan aliran kepercayaan, kebatinan, dan agama kecil. Tapi kenyataannya berbeda. Misalnya saksi Sardi, penghayat kepercayaan, yang ingin jadi tentara tapi enggak boleh. Saya terenyuh ketika dia mau disumpah. Begitu ditanya mau bersumpah bagaimana, dia menjawab Pancasila. Dia grogi karena melihat semua tak setuju undang-undang ini. Bagi saya, sumpah itu tak jadi masalah karena dalam Pancasila terdapat Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sepertinya para penganut kepercayaan menjadi bahan ejekan?
Iya. Bahkan, ketika Ulil Abshar Abdalla hendak bersaksi di sidang, ditanya, "Mau bersumpah dengan cara Islam?" Bagi saya, seharusnya itu tak boleh.
Jangan-jangan hakim membuat keputusan karena terhanyut suasana?
Bisa jadi. Tapi pada dasarnya alasan mereka juga masuk akal. Misalnya, kalau dicabut, apa penggantinya? Saya sebenarnya tak mempermasalahkan karena pasal penodaan agama sudah terserap dalam hukum pidana.

Jadi, kalau undang-undang dicabut, pasal di KUHP masih berlaku?
Kalau undang-undang dicabut, pasal dalam KUHP itu tak menjadi masalah. Pasal 156 dan 156a itu menyangkut hatzaai artikelen. Jadi, kalau melihat ada permusuhan dan penodaan agama, bisa ke situ.

Apa yang membuat Anda juga memberikan dissenting opinion dalam uji materi Undang-Undang Pornografi?
Saya melihat Undang-Undang Pornografi tak hanya pasal per pasal, tapi pada pembentukannya. Sejak rancangan sampai disetujui DPR, menimbulkan masalah terus. Demonstrasi, dialog, talk show, pawai budaya, dan lain-lain. Semua mempertanyakan perlu-tidaknya undang-undang ini. Saya melihat kok negara ini tak punya persatuan lagi. Pecah karena hal sepele.

Definisi pornografi juga multitafsir?
Iya, memang disebutkan bahwa pornografi itu ada gambar, foto, tulisan, dan sebagainya. Tapi kemudian dilanjutkan dengan kalimat melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Pasal 1 seharusnya definisi saja. Ketika ditambahkan kalimat tak melanggar norma kesusilaan, artinya ada batasan atau larangan. Jadi bukan definisi lagi. Norma kesusilaan juga berhubungan dengan adat dan agama sehingga ditafsirkan sendiri oleh daerah masing-masing. Nanti di suatu tempat dinyatakan porno, di tempat lain tidak.

Dua kasus undang-undang itu apakah memperlihatkan demokrasi atau mayoritarianisme?
Kalau melihat sidang DPR, memang yang diuntungkan partai besar. Saya sebenarnya menginginkan, kalau belum disepakati, jangan disetujui dan disahkan. Coba dua pihak dipertemukan, kemudian baru dibahas.

Anda selalu memberikan dissenting opinion dalam dua uji materi undang-undang itu. Merasa sendirian?
Saya tak merasa berbeda dengan hakim lain. Saya terbiasa sebagai perempuan sendiri.

diambil dari TEMPO online 26 April 2010..........


Melanjutkan...